*Untuk melihat semua artikel Sejarah Kupang dalam blog ini Klik Disini
Sejarah awal suatu wilayah (daerah) kurang terinformasikan dan kerap terlupakan. Akan tetapi, sejatinya, sejarah awal itulah peletak dasar ke arah mana selanjutnya sejarah wilayah terkembang. Titik tempat di masa awal di suatu wilayah adalah keberadaan benteng. Fungsi benteng tidak hanya pusat pertahanan, tetapi juga secara defacto telah mewakili wilayah sebagai pusat pemerintahan dan pusat perdagangan. Seperti di wilayah lainnya, hal itulah yang terjadi di wilayah Timor dan sekitar. Singkat kata ada dua benteng zaman kuno yang perlu diketahui dalam sejarah awal wilayah Timor dan sekitar (kini Provinsi Nusa Tenggara Timur dan Negara Timor Leste): Fort Fredrik Hendrik dan Fort Concordia.
Benteng di Kupang disebut benteng Concordia. Benteng ini dibangun di eks lokasi benteng Portugis di dekat muara sungai (di teluk Coepang, pulau Timor). Satu benteng yang kurang terinformasikan dan kerap dilupakan adalah benteng Fredrik Hendrik di pulau Solor. Dari dua benteng inilah sesungguhnya awal sejarah Timor dan sekitar terakumulasi yang terus berevolusi hingga ini hari. Okelah kalau begitu. Bagaimana sejarah benteng Concordia dan benteng Fredrik Hendrik. Seperti kata ahli sejarah tempo doeloe, semuanya ada permulaan. Untuk menambah pengetahuan dan meningkatkan wawasan sejarah nasional, mari kita telusuri sumber-sumber tempo doeloe.
Benteng Solor (Frederik Hendrik)
Pedagang-pedagang Demak sudah sejak lama menguasai perdagangan di sekitar Laut Jawa terutama di kota-kota pantai utara Jawa. Pada fase inilah pelaut-pelaut Portugis menemukan jalan ke Semeanjung dan menaklukkan kota Malaka tahun 1511. Tidak diketahui secara jelas apakah pedagang-pedagang Demak sudah terhubung dengan intens dengan Ternate, Yang jelas, pelaut dan pedagang Portugis tidak berani datang ke kota-kota pantai utara Jawa, tetapi melakukan ekspansi perdagangan ke pantai utara Borneo (di kota pelabuhan Boernai; kini Brunei). Dari kota pelabuhan yang ramai inilah pedagang-pedagang Portugis (yang berbasis di Malaka) menemukan jalan ke utara di Tiongkok (Macao) dan ke timur di Ternate melalui pantai utara Celebes.
Jalur sutra Malaka (Semenanjung), Boernai (Borneo-Kalimantan), Amoerang dan Manado (Celebes) hingga Ternate sudah lama dirintis oleh pedagang-pedagang Moor beragama Islam yang berasal dari Afrika Utara (seperti Mauritania, Morocco dan Tunisia). Orang-orang Moor tidak berada di Malaka tetapi membentuk koloni di selatannya di kota yang kemudian dikenal kota Muar (merujuk pada nama Moor).
Kota Malaka, dimana pusat perdagangan Portugis berada, cepat tumbuh dan berkembang sebagai suatu hub perdagangan yang penting di Hindia Timur. Belakangan pedagang-pedagang Demak juga menerukan mata dagangannya dari pantai utara Jawa ke Malaka. Sejak kota pelabuhan Banten berkembang, kota yang secara politis terhubung dengan Demak, arus perdagangan tidak lagi ke Malaka, tetapi melalui selat Zunda dan pantai barat Sumatra. Pada situasi inilah pedagang-pedagang Portugis di Malaka menjalin hubungan perdagangan dengan Banten (lihat Mendes Pinto, 1539). Dengan demikian, kota pelabuhan dagang Malaka tetatp terjaga keramaiannya yang dikontrol oleh orang-orang Portugis.
Sementara arus perdagangan Portugis memusat di Malaka dari tiga arah, utara dari Tiongkok, dari timur Ternate dan dari selatan (Banten), kawasan perdagangan Portugis semakin meluas di Ternate, hingga Amboina dan Banda (bahkan Kei dan Aru). Kawasan perdagangan inilah sejak awal kedatangan orang-orang Moor yang disebut Maluku (merujuk pada nama Malaka). Nama Malaka adalah sebutan orang Moor pada kota Malaya (sebelumnya koloni India) dan orang Portugis menyebut Malaka dengan Malacca.
Saat pengaruh perdagangan Demak (pantai utara dan timur Jawa) sampai ke Bali, Lombok dan Soembawa di (teluk) Bima, muncul permintaan kayu cendana di Tiongkok. Seperti kamper dan kemenyan hanya terdapat di Tanah Batak pada zama kuno, untungnya kayu cendana hanya terdapat di pulau Solor dan pulau Timor. Pedagang-pedagang Demak yang hanya sampai ke Bima, pedagang-pedagang Portugis di (kawasan) Maluku menemukan jalan ke pulau Solor (penghasil kayu cendana). Sejak inilah orang-orang Portugis mulai muncul di Solor dan Timor.
Orang-orang Moor yang sudah sejak lama menyebarkan agama Islam di Ternate dan sekitar dan orang-orang Demak di pantai utara Jawa dan saat kemajuan perdagangan orang-orang Portugis, para misionaris Portugis mulau berdatangan yang bermula di Malaka, kemudian meluas ke Amboina. Seorang misionaris Portugis ada juga yang membuka stasion di pantai timur Jawa (Banjoewangi). Lalu pada gilirannya misionaris Portugis membuka stasion di pulau Solor tahun 1557 di Lahayong. Ini seakan menggambarkan sejarah kuno seperti sejak era Hindoe, perdagangan India menyebarkan agama dan perdagangan Islam (Mesir, Arab, Persia dan Moor) menyebarkan agama lalu perdagangan Portugis juga disusul oleh para misionaris Portugis. Hal itulah mengapa ajaran Katolik sampai ke Solor (mengikuti jalur perdagangan).
Sejak kehadiran misionaris Portugis di pulau Solor, kawasan pulau Solor (perdagangan yang meluas ke pulau Timor), posisi kampong Lahayong (stasion misionaris) menjadi sangat penting. Mengapa? Misionaris Portugis pada tahun 1561 di Lahayong melindungi diri dengan membangun benteng (palisade dari pagar kayu) karena khawatir bisa sewaktu-waktu muncul ancaman dari para budak asal Makassar yang bekerja di Solor dan sekitar (dalam produksi kayu cendana). Benteng kayu ini kemudian diperbarui pada 1565 dengan benteng batu alam. Namun celakanya, kelak benteng ini menjadi sasaran pelaut-pelaut Belanda yang datang kemudian di Timor dan sekitar.
Tunggu deskripsi lengkapnya
Benteng Coupang di Timor (Concordia)
Hingga tahun 1605 pelaut-pelaut Belanda masih linglung dengan nusantara. Tidak demikian dengan pedagang-pedagang Portugis yang sudah hampir satu abad di nusantara. Memang pelaut-pelaut Belanda menggunkan peta-peta yang dibuat orang-orang Portugis, tetapi untuk mengikutinya dalam navigasi pelayaran tentu berbeda, Hal ini karena sketsa-sketsa peta yang dibuat belum sepenuhnya memenuhi kaidah kartografi. Pada pelayaran Belanda yang pertama yang dipimpin oleh Cornelis de Houtman (1595-1597) banyak salah jalan dan menghadapi banyak tantangan di dalam perjalanan hingga mencapai kota pelabuhan Banten dan mendapat penerimaan yang baik di Bali.
Dalam pelayaran Belanda pertama ini, Cornelis de Houtman setelah mencapai pantai utara (pulau) Lombok Januari 1597, mereka memutusakan berbalik, dan sempat singgah di pelabuhan Lombok, lalu kemudian mengitari pulau ke selatan dan berbalik arah menuju pantai timur pulau Bali (di Padang Bai yang sekarang). Sebelum melanjutkan perjalanan pulang mengitari pulau Bali lalu ke selatan melalui selat Jawa (kini selat Bali) Cornelis de Houtman meninggalkan dua pedagang di Bali. Pada pelayaran kedua yang juga dipimpin oleh Cornelis de Houtman tidak terlalu paham di Atjeh, akibatnya Cornelis de Houtman terbunuh di Atjeh 1599. Kapal-kapal Belanda. melarikan diri tetapi adiknya Frederik de Houtman ditahan. Kapal yang tidak dipimpin oleh Cornelis de Houtman menuju Bali untuk menjemput dua pedagang yang ditinggal dua tahun lalu dan kemudian menuju Maluku (satu pedagang ditinggalkan di Ternate). Pada pelayaran berikutnya yang dipimpin oleh Olivier van Noort mencoba peruntungan menuju Luzon tetapi terusir oleh orang Spanyol dan menuju pelabuhan Broenai tetapi diserang di teluk tersebut tanggal 1 Januari 1601. Semua yang menjadi penghalang Belanda di Banten, Atjeh dan Borneo adalah Portugis. Namun demikian seorang pedagang ditingglkan di Banda (yang mana setahun sebelumnya satu pedagang ditinggalkan di Amboina). Pada pelayaran berikutnya juga membawa pesan dari kerajaan tentang pembebasan tahanan di Atjeh pada tahun 1602 dan dimulainya hubungan baik. Pada pelayaran tahun 1604 Frederik de Houtman ikut bersama pelayaran yang dipimpin oleh Admiral Steven van der Hagen. Mengapa admiral? Tujuannya tidak hanya sekadar perdagangan tetapi benar-benar ingin berperang dengan orang-orang Portugis. Admiral Steven van der Hagen langsung menuju Bali (sahabat Belanda) karena dalam pelayaran ini tidak hanya Frederik de Houtman, tetapi juga salah satu pedagang yang pernah di Bali (Redenbuurg). Dari Bali Admiral Steven van der Hagen diarahkan ke Solor dan Timor tetapi mendapat perlawanan dari Portugis. Admiral Steven van der Hagen tidak ambil pusing lalu mengarahkan ke Amboina. Tentu saja ada dua konsultan dalam pelayaran ke Amboina ini yakni Frederik de Houtman dan pedagang di Bali. Pelayaran ini berhasill mengalahkan Portugis di Ambon pada tanggal 23 Februari 1605. Benteng Portugis di Ambon berhasil diduduki. Sejak itu nama benteng yang telah dibangun Portugis sejak 1575 diubah namanya menjadi Fort Victoria. Frederik de Houtman yang pernah dibui dua tahun di Atjeh diangkat menjadi gubernur di Amboina. Sejak inilah Belanda memulai intensitas perdagangan di Hindia Timur.
Setelah sukses mengusir Portugis dari Amboina, orang-orang Belanda mulai mendapat tantangan dari pedagang-pedagang Spanyol. Sebelum Frederik de Houtman mengakhiri tugasnya di Amboina tahun 1611, setahun sebelumnya terjadi pertempuran dengan Spanyol yang mana Admiral Francois Wittert terbunuh. Francois Wittert pernah ngepos di Banten (1603-1605) setelah pada bulan Desember 1601 dan Januari 1602 Laksamana Wolfert Harmensz berhasil memenangkan pertempuran melawan Portugis di Banten. Pada tahun 1612 Pieter Both yang yang menjadi akting Gubernur Jenderal (Belanda) di Banten ingin mengusir Portugis dari Solor dan Timor. Belanda yang sudah di atas angin di Atjeh, Banten dan Amboina, pada tahun 1613, Kapten Apollonius Schot dikirim ke Solor.
Nama Solor sendiri sudah sejak lama dipetakan oleh pelaut-pelaut Portugis. Dalam peta yang direproduksi dengan judul peta La premi�re carte des Moluques, d'apr�s les Reinel yang berisi peta yang dibuat pelaut Portugis pada tahun 1517 pada peta No. 20 diidentifikasi Ilha de Sollor, Cabo das Frolles, Batutara serta Ilha de Timor Homde nace o ssamdollo. Dalam hal ini, nama pulau (ilha) Solor dan ilha Timor serta Batutara adalah nama-nama asli. Timor dalam bahasa Melayu adalah Timur dan batu pada nama Batutara adalah batu. Sedangkan nama Frolles diduga adalah Florest, nama yang diberikan oleh pelaut Portugis pada suatu tanjung (cabo). Dari nama tanjung (Florest) inilah pulau mendapatkan namanya (pulau Florest). Besar dugaan sebelum kedatangan pelaut Portugis 1517 sudah banyak pedagang-pedagang (yang berbahasa Melayu) ke Solor dan Timor. Seperti kita lihat nanti radja di Pulau Solor adalah bernama Niey Chily (1665), Nama Niey Chily sepintas bukan nama lokal tetapi nama yang mirip dengan nama atau gelar orang Moor (niey, niay) dan gelar ini banyak ditemukan di Banten.
Kapten (Belanda) Apollonius Schot berhasil merebut benteng setelah terjadi pengepungan yang lama. Lebih dari seribu orang di dalam benteng, terutama wanita dan anak-anak, diberi pembebasan. Lantas bagaimana dengan Timor? Masih pada tahun yang sama pertempuran terjadi di Coepang, orang-orang Portugis dapat ditaklukkan.
Tunggu deskripsi lengkapnya
*Akhir Matua Harahap, penulis artikel di blog ini adalah seorang warga Kota Depok sejak 1999 hingga ini hari. Pernah menjadi warga Kota Bogor (1983-1991) dan Jakarta Pusat (1991-1999). Disamping pekerjaan utama sebagai dosen dan peneliti di Fakultas Ekonomi dan Bisnis, Universitas Indonesia, saya memiliki hobi berkebun di seputar rumah--agar lingkungan tempat tinggal segar dan hijau. Menulis artikel di blog hanya dilakukan saat menonton sepakbola atau waktu senggang, utamanya jelang tidur..Saya sendiri bukan sejarawan (ahli sejarah), tetapi ekonom yang memerlukan aspek sejarah dalam memahami ekonomi dan bisnis Indonesia. Artikel-artikel sejarah dalam blog ini hanyalah catatan pinggir yang dibuang sayang (publish or perish). Korespondensi: akhirmh@yahoo.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar